Prompt #65: Lelaki Tua di Tengah Gerimis

 Sumber: Dokumentasi Pribadi Rinrin Indrianie
Sumber: Dokumentasi Pribadi Rinrin Indrianie

Di tengah gerimis di sebuah warung kopi, sudah jadi hal yang wajib bagiku sepulang kerja untuk setidaknya merasakan keharuman dan kenikmatan secangkir kopi. Seperti biasa perbincangan hangat antara aku, pemilik warung dan beberapa pelanggan sekedar basa basi memeriahkan suasana.

“Buset dah ntu bapak di tengah gerimis gini jalan kaki dorong ontel butut” celetuk salah satu pemuda.

“Mau ngasi sapi makan kali yak bawa – bawa rumput segala”.

“Prffffffhhhh uhukk uhukkk,” aku tersedak melihat lelaki tua tersebut.

“Bee babeee mau kemane??” aku meneriaki lelaki tua yang baru saja lewat.

“Laahh eluu ntong, bantuin gue dah buruan bakal buat sapi lo nih”.

“Buset dah babe ampun be kite kagak punya sapi be ya Allah babe”.

“Mpokk gua ngutang dulu yee,” teriakku pada pemilik warung kopi.

Segera kuantar babe pulang kerumah, aku memaklumi diusianya yang saat ini pikun adalah hal yang sewajarnya dan tugas ku sekarang adalah untuk membahagiakannya.

Prompt #22: Diane

 

“Apa yang membuat wanita cantik sepertimu termangu sendiri di tempat ini ?”.

“Aku sedang menunggumu”, dengan tersenyum lirih.

“Mau ku temani?”.

Dia hanya tersenyum, bagiku itu berarti setuju dan ini adalah pertemuan pertama kami.

***

“Setelah perjalanan ini aku ke Jepang dan menetap disana, maukah kau ikut dengan ku?

“Tentu, itulah yang ku inginkan aku merasa nyaman dengan mu.”

Aku tak mengerti aku juga merasakan hal yang sama. Apakah mungkin dia tertarik dengan kekayaanku, mungkin saja tapi sudahlah kita lihat saja nanti.

“Kau sangat indah malam ini, sangat berkilau lebih indah dari kemewahan kapal dan kemegahan lautan ini I love you”.

“Aku tak ingin berkata banyak hal, kiss me dan kita akan menghabiskan malam ini”.

***

Dalam dua hari kapal akan menepi di Jepang.

“Diane, ada yang ingin kutanyakan padamu apa tujuan mu ke Jepang dengan kapal ini?”.

“Aku menunggumu, sudah lama sekali aku menunggumu”.

Aku hanya bisa mengkerutkan dahi tak mengerti.

“Tapi sungguh aku tak mengerti”.

“Sungguh aku telah menunggumu sejak lama Mario, aku percaya kau pasti kembali padaku dan ternyata itu semua tidak sia – sia”.

“Apa? apa kita pernah bertemu sebelumnya”.

“Sembilan tahun lalu kita adalah dua sejoli, sampai akhirnya kapal yang pada saat ini kita naiki terbakar kau menyuruhku menunggu dikamar. Aku menunggu bertahun – tahun menghantui kapal ini menunggumu kembali”.

“Aku bukan Mario tapi Rio, ingat? aku tak mengerti mengapa kau menganggapku adalah orang yang sama”.

“Wajahmu aroma tubuhmu semua percis sama, mungkin memang kau tak mengenaliku lagi dan mungkin kau sudah mati saat itu tapi aku mengenalimu”.

“Pantas saja aku merasa sudah sangat mengenalmu, jika memang aku yang dulu pernah berjanji seperti itu maka ini adalah takdir yang harus kujalani, kuharap penantianmu berakhir dan menghadiahkan ketenangan maafkan aku  yang dulu,  sekarang saatnya kau meninggalkanku”.

“Terimakasih, aku mencintaimu”.  Diane menghilang beserta terompet kapal yang memasuki dermaga.

Hak dan Kewajiban

Hak terlalu dibesarkan, salahkah?

Perlu diketahui dunia ini selalu saja mengagungkan hak, salah sedikit berbicara tentang HAK dan HAM.

Tapi tidakkah berfikir seharusnya dahulukan kewajiban baru menuntut hak.

Berbicara tentang hak, orang tua memukuli anak menjadi sebuah pelanggaran HAM.

Tidakkah kita sadari tidak banyak yang menuntut akan kewajiban, namun hak selalu saja dituntut.

Jalankanlah kewajiban maka hak yang anda tuntut tidak akan menjadi masalah.

Karena hak atau Ham, orang – orang banyak berlindung dari kesalahannya mengatasnamakan hak/ham.

Prompt #20: Lelaki# Ayah dan Ubasuteyama

Aku menghabiskan waktu dengan ayahku di sebuah kedai kopi, “ayo ayah kita pergi sekarang.”

Setelah jeda yang begitu lama, lelaki itu menghabiskan isi gelasnya dengan sekali tegukan.

“Apa? aku tidak dengar.”

Mendekatkan mulutku ke telinganya, pendengaran lelaki tua ini sudah tidak sebagus dulu “Ayah ayo kita pergi, nanti kemalaman.”

“Baiklah ayo kita pergi.”

Aku membawa ayahku ke sebuah hutan di tepian sungai.

“Sudah lama kita tidak kesini nak, dulu kau sering ku ajak bertamasya dan memancing disini.”

“Iya ayah, sudah lama sekali terakhir kita kesini saat aku kelas tiga SMP sungguh masa yang menyenagkan bersama keluarga dan sekarang ayah sudah tua renta seperti ini.”

“Nak, bisakah kita melihat matahari terbenam sebelum kita pergi ke hutan?”

“Tentu yah, matahari terbenam disni adalah yang paling indah di kota kita ini, tepian sungai memantulkan cahaya matahari yang jingga diiringi suara jangkrik  dan angin berhembus pelan memecah permukaan air sungai sejuknya sampai membuat ku merinding.”

Senja sudah berubah gelap berganti gemerlap lampu kota yang menghampar luas dibalik rindangnya pepohonan di seberang sungai.

“Ayo yah kita masuk hutan.” Dengan suara agak keras.

“Baiklah.” Aku memapahnya karena ku tahu dia tak akan mampu berjalan dengan keadaannya sekarang.

***

“Terimakasih nak cukup sampai disini.”

“Baiklah, inilah tradisi kita Ubasuteyama. terimakasih atas semuanya.” Aku tak kuasa menahan pedih harus meninggalkan ayah ku namun ayah terlihat tegar.

“Kau sudah besar dan sudah bekeluarga, aku dan almarhum ibu sudah berusaha sebaik mungkin membesarkanmu dengan cinta kasih sayang. Aku meminta dibuang disni karena hutan ini dan sungainyalah banyak kenangan tentang kita.

Tak tahan lagi aku kemudian membawa ayah ku pulang dengan berlinang air mata, persetan dengan tradisi, ayahku lebih berhaga dari pada sebuah tradisi.

NB: Ubasuteyama tradisi di Jepang membuang orang tua yang sudah tua renta ke hutan atau kegunung agar tidak membebani sang anak.

Prompt #19: Mengadu

Monday Flash Fiction Prompt#19

Aku memandangi foto aku dan ibuku melintasi jembatan disebuah wahana, kami bergandengan tangan aku tersenyum memeluknya dan kemudian lelap dalam tidur.

“Pak, aku minta uang spp sekolah pak sudah telat tiga bulan.”

Bapakku hanya diam saja dengan mukanya yang kusut, sepertinya habis mabuk semalam.

“Aku tak punya uang, bilang saja pada gurumu nanti aku yang kesana.” sambil menenggak botol miras.

“Tapi pak,” belum sempat aku melanjutkan tamparan sudah menempel di pipiku.

“Sudah pergi sana, tinggalkan aku sendiri.”

***

“Ibu, apa yang harus ku lakukan? Bapak tiap malam mabuk – mabukan. Uang Spp ku sudah tiga bulan belum dibayar, aku terancam dikeluarkan dari sekolah. Bapak juga sering kasar padaku, bapak sudah tidak kerja lagi, tiap hari aku harus ngamen demi sesuap nasi untuk bapak dan aku. Aku ingin ikut ibu. Maaf aku menangis di makam mu Bu.”

Hujan Turun Bukan Salah Kita

Terasa sempit sesak, sungguh sangat sesak

Sakit namun tidak luka yang kurasa, aku membungkuk menahan sesak ini sakit sungguh sakit

Kenapa dunia memperlakukanku seperti ini, dunia sungguh tidak adil
Mereka yang tidak perlu bersusah payah kini berpangku kaki, sedangkan aku kini hanya bisa menangis.

Yah memang dunia tidaklah adil, apa yang kau harapkan?

Tidak semua yang kau mau itu bisa tercapai, sudahlah peluk saja aku peluk agar aku juga dapat merasakan sesak yang kau rasa

Dekatkan jantungmu dengan jantungku agar aku bisa merasakannya

Kau tidak gagal, kau dari semula yang diam sekarang sudah maju

Lihat angin yang membelai dedaunan itu, lihat air yang mengalir di sungai

Semua tidak ada yang salah, tidak ada yang sia – sia dan,

Hujan yang turun bukan salah kita.

Prompt #18: Ada Apa dengan Lissa?

Aku terbangun. Lissa yang tidur di sampingku, meronta-ronta dan menjerit. Aku berlari keluar dari kamar.

Saat dia sadar, kemudian dia menangis tersedu, aku bukanlah orang lain bahkan kami memiliki hubungan yang cukup dekat. Setelah tangisannya mereda aku kembali menghampirinya.

“Kamu kenapa?”

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Lissa.

“Mas! apa yang telah kita perbuat semalam?”

Aku hanya terdiam mengingat apa yang telah aku dan Lissa lakukan tadi malam, sungguh kami telah dikalahkan oleh nafsu.

Kemudian sambil menangis Lissa memelukku.

“Aku mencintaimu mas.”

“Lantas kenapa kau menangis? maafkan aku Liss.”

“Aku tidak menyesalinya mas, aku bahagia namun aku merasa bersalah karena aku juga isteri abang mu.”

Segala Apa yang Terlihat

Kau bilang aku sombong, aku marah.

Kau bilang aku aku seorang ambisius, aku kecewa.

Mereka bilang aku egois, aku tersinggung.

Apapun yang mereka katakan tentang ku, aku marah.

Tapi aku menyadari satu hal, mereka begitu pasti karena diriku sendiri, mereka pasti melihat apa yang telah kulakukan.

Karena apa yang manusia katakan berdasarkan apa yang mereka lihat.